Adang Tahun Dal
"upacara menanak nasi keluarga Karaton"
Selain upacara "sekaten" Karaton Kasunanan Surakarta juga menyelenggarakanTradisi Adang Tahun Dal ,yaitu tradisi menanak nasi oleh raja sendiri,lalu di bagikan pada pegawai karaton dan masyarakat. Tradisi ini tidak hanya merupakan formalitas belaka, tetapi dalam memasak nasi ,Raja (Sinuhun) sendiri yang menanaknya dengan dibantu para kerabat istana, serta dalam jumlah cukup besar,mempergunakan Dandang besar. Beras yang dimasakpun ,dipilih beras yang istimewa sebagai bahan utamanya , setelah masak kemudian dilanjutkan upacara selamatan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.baru selanjutnya dibagi-bagikan kepada para abdi dalem keraton Surakarta Hadiningrat. 

Dandang yang dipergunakan dinamai Dandang Kyai Duda yang riwayatnya konon merupakan peninggalan Joko Tarub. Menurut cerita rakyat, Joko Tarub beristrikan bidadari bernama Nawangwulan. Karena kesaktiannya setiap kali menanak nasi hanya membutuhkan setangkai padi saja. Dandang Kyai Duda inilah yang digunakan Nawangwulan untuk menanak nasinya. Kyai Duda masih tersimpan di keraton Surakarta. Dalam perkawinannya dengan Nawangwulan Joko Tarub (Ki Ageng Tarub) menurunkan seorang putri bernama Nawangsih. Setelah dewasa Nawangsih bersuamikan putra Majapahit bernama Bondan Kejawen. Raden Bondan Kejawen kemudian menggantikan kedudukan Ki Ageng Tarub dan bergelar Ki Ageng Lembu Peteng. Dari keturunan Bondan Kejawenlah yang merupakan nenek moyang raja-raja Surakarta dan Yogyakarta.

Pada acara Adang Tahun Dal , beras yang dipergunakan berkualitas nomor satu (wulu rojo lele) dandang serta kendil (periuk)nya adalah Dandang pusaka keraton bernama Dandang kyai Duda, serta periuknya bernama nyai Rejeki, begitu pula perlengkapan yang lainnya, semua serba pilihan. 
Jalannya Upacara

Upacara Adang Tahun Dal dipersiapkan secara teliti, melelahkan, memakan biaya cukup besar serta memerlukan waktu cukup lama. Hal ini karena semua perlengkapan yang digunakan serba khusus, sebelum tanggal 11 Mulud tahun berjalan, selalu dipergunakan petutup dandang baru. Penutup dandang (kekep) yang terbuat dari tanah liat hanya digunakan dalam satu kali upacara.. Begitu pula perlengkapan yang lain seperti kukusan, sieur, centong dan sebagainya, semua hanya dipakai dalam satu kali upacara. Tanah liat untuk membuat kekep diambilkan dari beberapa tempat yaitu Demak, Boyolali dan Selo. Pembuatan dilakukan oleh abdi dalem (pegawai kraton) pembuat barang gerabah, dan disertai dengan berbagai upacara, sejak mulai membentuk tanah liat sampai membakarnya. Air yang digunakan untuk memasak nasi juga berasal dari beberapa tempat yaitu Pengging, Mungup, Canawelang dan Jolotundo. Kayu bakarnyapun berasal dari beberapa tempat. Tungku untuk memasak nasi yang terletak di dapur kerajaan Gondorasan, juga dibuat yang baru.

Sehari sebelum “Adang Tahun Dal” berlangsung, semua peralatan “disiram” disucikan dengan upacara ritual. Dandang Kyai Duda dicuci bersih dengan air buah masam serta air mawar kemudian diminyaki. Sementara itu para ulama karaton terus-menerus tanpa hentinya mengalunkan doa memuji kebasaran Tuhan serta memohon keselamatan dan disertai kepulan asap kemenyan.

Pada hari minggu sore tanggal 11 Mulud para abdi dalem termasuk para ulama keraton serta juru kunci makam-makam milik keraton telah hadir. Kurang lebih pukul 20.00 Sinuhun diiringi putra-putri Sinuhun tiba di dapur karaton memasuki salah satu ruangan Gondorasan. Ikut pula hadir para istri Sinuhun serta para tamu kehormatan. Para petugas dan keluarga keraton berpakaian adat Jawa dengan warna putih. Sementara itu dandang Kyai Duda serta kendil Nyai Rejeki telah berada diatas tungku api abadi. Dandang Kyai Duda terus-menerus diusapi semacam param serta para ulama dan juru kunci terus menerus berdoa tanpa henti. Setelah istirahat sejenak Sinuhun menuju tungku untuk membetulkan nyala api. Tindakan ini diikuti para putri Sinuhun secara bergantian. Yang bertugas memasukkan beras ke dalam dandang adalah putri Sinuhun. Selama berlangsung adang ini Sinuhun serta putra-putrinya bergantian mengamati dandang Kyai Duda dan kendil Nyai Rejeki terus menerus dikoyohi. Koyoh ini langsung diusapkan dengan tangan telanjang tanpa alat, tetapi aneh tidak terasa panas, padahal air sudah mendidih serta nasipun sudah masak. Sekitar pukul 24.00 Sinuhun diikuti beberapa putra kembali ke karaton, sedang yang lain tetap di Gondorasan menunggu hingga nasi masak. Kurang lebih pukul 00.30 nasi telah masak, digelar diatas tempat yang sudah disediakan lalu dikipasi hingga dingin, manjadi nasi pulen.

Keesokan harinya, Senin pon tanggal 12 Mulud tahun Dal pukul 11.00 para keluarga Sinuhun beserta para abdi dalem telah hadir di keraton. Dengan diiringi beberapa kerabat Sinuhun memasuki tempat upacara dan menempatkan diri ditengah-tengah. Didepan tempat duduk Sinuhun telah tersedia meja panjang berisi piring serta nasi hasil adang semalam. Kemudian tiba saatnya selamatan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW dimulai. Intin selamatan adalah pembacaan doa memuji kebesaran Tuhan, mengucapkan puji syukur atas karuniaNya memohonkan pahala Nabi Muhammad SAW. Setelah para ulama selesai memimpin pembacaa doa, kemudian Sinuhun mengambil satu centong ditaruh diatas piringnya. Tindakan ini diteruskan oleh putri Sinuhun yang membagi-bagikan nasi kepada semua yang hadir. Kemudian selesialah upacara makan bersama.

“Adang Tahun Dal” adalah tradisi yang sangat langka dan sulit diikuti oleh orang diluar lingkungan karaton, karena dilaksanakan di dalam keraton. Tetapi pada akhirnya akan menumbuhkan rasa kebersamaan antara Raja dan para abdi dalem, yang merupakan simbol “manunggaling kawulo gusti” (bersatunya raja dengan rakyatnya). Inti tercermin dari tindakan Sinuhun memasak nasi kemudian membagi-bagikan serta makan bersama rakyatnya. Pada saat kharisma Sinuhun masih kuat, tindakan semacam ini sangat dihargai oleh rakyat. Rakyat merasa mendapat perhatian bahkan kehormatan karena bukan saja rakyat (abdi dalem) mendapat nasi yang ditanak sendiri oleh Sinuhun dari nasi yang sama. Demikian wajarlah kiranya tradisi yang hanya terjadi sekali dalam delapan tahun serta yang berada di dalam lingkungan tembok keraton, sangat dikenal oleh masyarakat luas. Tradisi ini hingga sekarang masih dilakukan (terakhir pada tahun lalu, 11 Mulud tahun Dal 1919 Jawa)

Post a Comment